bagi seorang pendaki gunung, perjalanan mendaki gunung tidaklah sekedar perjalanan menelusuri alam saja. Ada perjalanan hati di dalamnya. Kepuasan perjalanan hati ini berbeda-beda, tergantung dari sang pendaki – termasuk saya.
Pendaki gunung, tentu juga akan paham betul arti sebuah kebersamaan. Terlebih jika kita mendaki gunung secara bersamaan. Kemana pun langkah kaki bergerak, haruslah bersamaan. Tidak ada yang tertinggal. Satu sakit, atau capek, maka seluruh anggota tim hendaknya beristirahat dan menunggu untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju puncak. Masalahnya, kadang ada yang sakit atau hanya ”merasa” sakit. Parah lagi, jika ada yang pura-pura sakit karena merasa perjalanan masih jauh.
Dulu, ketika saya kuliah, Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah salah satu mata kuliah wajib yang harus diikuti oleh setiap mahasiswa. Kebetulan, saya mendapatkan lokasi KKN di kota tembakau, Temanggung. Tepat di lereng Gunung Sindoro. Nama desanya? Ahh.. saya lupa. Satu yang saya ingat, desa itu adalah desa yang terletak paling tinggi di lereng Gunung Sindoro.
Di sela-sela masa KKN, kami memutuskan untuk melakukan pendakian. Masing-masing dari kami memiliki alasan tersendiri. Masalahnya, hanya dua diantara kami semua yang pernah mendaki gunung – saya dan Defri (Elektro UGM 93). Alhasil, saya dan Defri pun membagi tugas. Lepas jam 9 malam, kami memulai perjalanan. Di awal perjalanan, Defri memilih untuk berjalan di depan sebagai pembuka jalan. Saya sendiri berjalan di belakang, sebagai “penjaga gawang”.. jika ada yang tertinggal atau lainnya.
Mulanya perjalanan berjalan dengan lancar. Canda dan tawa mengiringi perjalanan di gelapnya malam. Setelah 2-3 jam perjalanan, seorang rekan sudah mengeluh jika persediaan airnya dah mau habis. Rupanya konsumsi air dia lumayan banyak. Sebagai solusi, rekan saya menawarkan air yang dibawanya. Karena perjalanan masih cukup panjang, rekan saya itu pun mengingatkan agar air itu jangan dihabiskan. Masalah teratasi, dan kami pun meneruskan perjalanan.
Satu jam kemudian, beberapa rekan sudah mengeluh capek dan minta untuk istirahat. Kami pun menyetujuinya. Kami memilih tanah yang sedikit lapang untuk beristirahat. Beberapa rekan kemudian membuka bekalnya, dan menikmatinya. Asupan energi itu rupanya membangkitkan semangat untuk bercanda gurau kembali di antara rekan-rekan saya tersebut. Sayangnya, ini juga awal dari masalah yang baru.
Satu rekan mengeluh capek, satu lagi memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan dan berhenti di tepat kami beristirahat, satu lagi menyalahkan persiapan yang kurang dari rekan yang kehabisan air (dan bekal), dan sebagainya. Intinya, mengeluhkan situasi yang sedang dihadapi. Diskusi pun kemudian muncul, untuk memutuskan apakah perjalanan dilanjutkan atau berhenti sambil menunggu pagi dan kemudian turun kembali.
Dalam diskusi, berbagai pendapat dan alasan yang muncul, serta beradu satu sama lain. Rekan saya yang tidak ingin melanjutkan perjalanan adalah orang yang paling punya alasan untuk tidak melanjutkan pendakian yang sedang kami lakukan. Dia punya cukup banyak stok alasan bahwa pendakian ini mustahil untuk dilanjutkan. Alhasil, dia pun paling kencang berteriak dan mengajak yang lainnya berhenti saja. Dalam pendakian, orang seperti ini adalah orang yang berbahaya. Untuk itu, sebaiknya dia harus dibungkam. Jika tidak, maka pengaruh yang buruk akan menular ke lainnya.
Dalam pendakian ke puncak Sindoro yang kami lakukan, hanya saya dan Defri yang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Ya, berdua saja. Rekan-rekan yang lain memutuskan berhenti dan menunggu di tempat kami beristirahat tadi. Tak lama setelah keputusan diambil itu, kami pun kemudian melanjutkan pendakian. Dan ketika mentari bersinar, kami sudah di padang edelweis. Fiuhhh.. puasss rasanya.
Nah, menariknya… ketika kami turun, rupanya jarak antara tempat beristirahat itu ternyata tidak jauh-jauh amat. Tidak seperti yang diomongkan atau ditakutkan bahwa perjalanan kami itu mustahil.
Dalam sebuah perusahaan, atau organisasi, banyak sekali kita menjumpai orang yang kencang berteriak. Ini mustahil.. ini nggak mungkin… atau bla.. bla.. bla.. Banyak orang berhenti ketika sebenarnya tujuan ada dan tampak di depan mata. Di sinilah kita belajar untuk mengetahui karakter sejati seorang manusia. Push them to the limit!. Dan mendaki gunung adalah salah satunya. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengajak orang untuk mengeluarkan daya kreasi maksimalnya inilah yang dapat kita gunakan untuk mengetahui karakter sejati itu. Karakter itu muncul ketika capek dan/atau suntuk sudah terasa. Ada yang mengeluh. Ada yang bersabar ria. Ada yang egois. Dan sebagainya…